Rabu, 03 Agustus 2011

Pembelajaran Bahasa Kedua Bagi Anak di Lingkungan Baru


PEMBELAJARAN BAHASA KEDUA BAGI ANAK
DI LINGKUNGAN BARU

I Wayan Dana Ardika,S.S.,M.Pd.
Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali
Bukit Jimbaran
 (Terbit di Jurnal Humaniora PNB)
Abstrak
Proses adaptasi bahasa dan dialek pada lingkungan bahasa baru selalu terjadi secara alami bersamaan dengan proses pertumbuhan anak, dan hal itu merupakan isu sentral bagi setiap pembelajar bahasa. Tujuan pelaksanaan penelitian adalah untuk memperoleh informasi tentang proses adaptasi dalam pemerolehan bahasa kedua yang difokuskan pada anak usia balita pada lingkungan bahasa baru dilihat dari aspek neurologi dan perkembangan psikologi. Yang menjadi subjek dalam penelitian ialah dua anak balita dengan usia 4 dan 6 tahun. Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa proses adaptasi bahasa pada anak usia balita pada lingkungan bahasa barunya berjalan dengan lancar dan cepat. Kemampuan anak usia balita memelihara dua dialek tergantung dari keberadaan kedua orang tua mereka yang tetap menggunakan Bahasa Indonesia dialek Bali dalam komunikasi di rumah mereka tanpa memaksakan salah satu dialek. Dari temuan di atas disarankan agar dalam berkomunikasi dengan anak jangan diinterfensi oleh kedua orang tuanya, biarkan mereka berkomunikasi apa adanya tanpa memaksakan dialek atau bahasa tertentu
Kata kunci: pembelajaran, adaptasi, dan komunikasi.


Abstract

Language and dialect adaptation in new language environment usually happen naturally together with the growth of children, and this come as a central issue for language learners. The purpose of this research is to get information about the adaptation process in language acquisition process focused on children who stay in a new language environment, based on neurology and psychology development. The subjects of this research are two children 4 and 6 years old. The research was done by observation. Based on the analysis it is known that the adaptation process of the children in their new language environment happens fluently and fast. The children’s ability to maintain two dialects depend on their parents who still use the dialect during speaking in Indonesian. From the result above, it is suggested that in doing the communication with the children the parents don’t need to push them. Let them doing the communication naturally without the intervention of certain language or dialect.
Key words: learning, adaptation, and communication.
PEMBELAJARAN BAHASA KEDUA ANAK
DI LINGKUNGAN BARU



Latar Belakang
Proses adaptasi bahasa dan dialek pada lingkungan bahasa baru selalu terjadi secara alami bersamaan dengan proses pertumbuhan anak, dan hal itu merupakan isu sentral bagi setiap pembelajar bahasa. Sejalan dengan proses pemerolehan bahasa dan dialek, adaptasi bahasa juga terjadi secara alamiah sampai batas usia tertentu. Dalam batas usia itu, secara luar biasa anak balita menguasai sistem yang begitu rumit.
Adaptasi bahasa yang dimaksudkan oleh penulis adalah penyesuaian terhadap lingkungan berbahasa; sedangkan, lingkungan bahasa baru adalah suatu lingkungan bahasa yang berbeda dengan lingkungan bahasa sebelumnya yang digunakan oleh anak balita dalam berkomunikasi.
Seiring dengan proses pemerolehan bahasa pertama, proses adaptasi bahasa juga dapat berjalan dengan lancar dan cepat karena didorong oleh faktor kebutuhan anak. Dalam adaptasi bahasa ada beberapa cara yang digunakan dalam studi pengembangannya, seperti (a) buku catatan harian merupakan suatu cara untuk menelusuri perkembangan bahasa dalam diri seorang anak, (b) orang tua dapat berpartisipasi dengan mendaftarkan kata-kata yang diperoleh anaknya setahun pertama dengan maksud mengatur pengamatan dan mengingatkan tentang hal-hal yang bisa dikatakan oleh anak-anak, (c) observasi adalah cara yang intensif dan cermat bagi sejumlah kecil anak dalam pemerolehan bahasa terus berlanjut, (d) wawancara dilakukan dengan cara menggali sistem bahasa anak secara tidak langsung, paling tidak terpecah-pecah karena kapasitas metalinguistik mereka, (e) teknik eksperimen dilakukan dengan mengharuskan anak-anak menghasilkan kata-kata dengan gambar atau menunjuk gambar dengan rangsangan auditori, (f) longitudinal diperlukan untuk menjawab pertanyaan tertentu, (g) cros sectional yang mengemukakan pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana anak-anak usia 2,3,4 tahun menginterpretasikan kalimat-kalimat pasif. Perkembangan persepsi ucapan dilakukan dengan cara memperhatikan suara awal, dengan menggunakan teknik habitutation.
Pada proses pendengaran usia 18-20 bulan bayi memikirkan bunyi-bunyi baru untuk membedakan suara dengan menggunakan desain High Amplitude Sucking Pradigm (HASP). Pada usia 6-18 bulan dapat diuji dengan menggunakan procedure conditional headturn yaitu sebuah rangsangan bunyi yang diberikan berulang-ulang kepada anak. Pada saat diperkenalkan suatu bunyi yang kontras, bunyi tersebut diikuti dengan aktivitas distraktor visual animasi yang ditempatkan di sebelah garis penglihatan bayi. Pada ahirnya dengan cara ini, anak belajar mengantisipasi perubahan-perubahan suara yang memicu penglihatan visual dan menarik anak- anak untuk memalingkan kepala saat ia mendengar sebuah perubahan suara. Leksikon awal cenderung terlihat bersifat kata benda untuk anak yang belajar bahasa Inggris, kata benda awal ini cenderung menjadi contoh apa yang disebut basic level categories.
Dalam proses pembentukan kalimat, anak-anak mulai meletakkan kata-kata secara bersama ke dalam kalimat dengan dua – kata yang bersifat elementer. Kata-kata yang mereka letakkan dalam tahapan satu – kata digabung dalam ungkapan pendek yang bisanya tidak lengkap, dengan kata lain tidak memiliki artikel, preposisi atau beberapa tata bahasa lainnya. Dalam pengungkapan tata bahasa, sama sekali tanpa infleksi tata bahasa. Mereka beranekaragam dalam berbahasa. Keragaman dalam mengungkapkan kalimat dengan kata negatif, bertanya, disebabkan karena faktor kecepatan dan kemajuan anak serta kemampuan linguistik anak. Berdasarkan atas apa yang telah diuraikan di atas dan oleh karena begitu rumitnya proses penguasaan bahasa pada anak tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian ini.
            Adapun tujuan utama dalam penelitian adalah untuk memperoleh informasi tentang proses adaptasi dalam pemerolehan bahasa kedua yang difokuskan pada anak usia balita pada lingkungan bahasa baru dilihat dari aspek neurologi dan perkembangan psikologi yang dibutuhkan dan digunakan seperti, bagaimana seorang anak memperoleh dan memproduksi bahasa. Dengan tulisan singkat ini nantinya diharapakan dapat menjadi sumbangan yang berharga bagi perkembangan ilmu pendidikan, khususnya mengenai pembelajaran bahasa.

Metode Penelitian
Yang menjadi subjek dalam penelitian ialah dua anak balita dengan usia 4 dan 6 tahun yaitu Kadek Dea Ananda yang biasa dipanggil Dea dan Putu Mutia Amandari dengan nama panggilan Mutia (keponakan penulis sendiri). Dea lahir pada tanggal 2 Januari 2003 dan Mutia taggal 24 April 2001 di desa Perean, Baturiti, Tabanan dengan keadaan fisik dan mental yang normal. Dari kecil Dea dan Mutia tinggal di Perean dengan lingkungan pengguna Bahasa Bali. Namun ketika Mutia sudah cukup umur untuk bersekolah, mereka sekeluarga pidah ke Denpasar dengan maksud untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan dekat dengan tempat bapaknya bekerja. Sehari-harinya mereka berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Bali. Namun, sebagaiman diketahui bahwa dalam pergaulan di Denpasar lebih banyak pengguna Bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan karena makin sedikitnya orang tua yang mau memakai Bahasa Bali sebagai bahasa sehari-hari dalam keluarga. Oleh karena itulah kemudian ketika tinggal di Denpasar orang tua Mutia dan Dea juga menyelipkan Bahasa Indonesia dalam komunikasinya agar nantinya Mutia tidak mengalami kesulitan dalam pergaulan dengan teman-temannya di sekolah atau di rumahnya.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2006 sampai dengan Januari 2007. Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan dan observasi;  dan observasi dilakukan saat pemerolehan kata-kata baru. Observasi merupakan salah satu bentuk penelitian kualitatif yang mampu neggambarkan suatu fenomena secara lebih detail dan akurat (Bogdan dan Biklen, 1982: 74). Pengamatan dilakukan di tempat tinggalnya di Denpasar dan pada saat mereka liburan sekolah atau pada saat mereka berada di desa. Kegiatan pengamatan ini dilakukan ketika Mutia dan Dea melakukan komunikasi dengan semua keluarga yang ada di rumah dan ketika bermain dengan teman-teman sebayanya.
Data tersebut dideskripsikan dengan tulisan biasa. Transkrip secara fonetik tidak dilakukan karena data ini hanya sebagai bahan dalam menganalisis ujaran dan kata-kata atau kalimat dalam adaptasi bahasa. Data tersebut diklasifikasikan sesuai dengan jenis kata yang urutannya disesuaikan dengan waktu pengumpulan.
Dalam pengumpulan data, alat pengumpul data yang digunakan ialah peneliti adalah dengan remembering dan rewritting (baik dari penulis sendiri maupun dari orang tua objek penelitian), yaitu dengan mengingat semua yang diucapkan oleh mereka (yang ada hubungannya dengan PBK-nya) kemudian menulis kembali. Catatan harian peneliti dijadikan alat untuk menganalisis data yang diperlukan.
Dalam menganalisis data ini, peneliti melakukan tahapan- tahapan sebagai berikut: Pertama. Data yang sudah direkam dalam bentuk tulisan sesuai dengan ucapan dan makna yang ditangkap oleh peneliti dilihat dari berbagai aspek yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik yang muncul pada waktu-waktu tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan kecenderungan urutan pemunculan, produksi bahasanya, dan situasi pada saat dia mengungkapkan bahasa tersebut. Pemunculan bahasa tersebut merupakan cerminan dari kompetensi si anak sehingga dapat memberikan keyakinan peneliti bahwa anak ini memang telah memperoleh adaptasi bahasa dalam lingkungan bahasa baru seperti yang dia ucapkan.
Kedua. Setelah data dianalisis dan disajikan secara deskriptif, hasilnya ditinjau secara teoritis dari aspek psikolinguistik yaitu dari mentalistik pemerolehan bahasa. Unsur-unsur bahasa seperti fonem, morfem, morfologi, sintaksis dan lain-lainnya dikaji dengan melihat makna sesuai dengan konteks dan situasi di tempat dia mangucapkan bahasa tersebut.
Ketiga. Setelah data ditinjau dari aspek kebahasaan dan kejiwaan, maka data tersebut dibahas sesuai dengan komponen bahasa mulai dari fonem, morfem, sintaksis, semantik dan pragmatik serta sosio kultural. Kemudian simpulan analisis disajikan pula dengan membandingkan teori-teori linguistik khususnya yang berkaitan dengan pemerolehan bahasa.
Keempat. Setelah pembahasan data tentang pemorelehan dan produksi bahasa anak, maka ditarik simpulan hasil bahasan sebagai satu temuan penelitian.


Hasil Penemuan dan Pembahasan
Setelah Mutia dan Dea menetap di Denpasar, awalnya mereka belum bisa beradaptasi dengan baik. Ia hanya banyak mengamati perilaku kehidupan anak-anak tetangga yang sebaya dengannya, walaupun tegur sapa sudah mulai menunujukkan gejala akan adanya persahabatan di antara mereka. Adaptasi pemerolehan kata tampaknya belum terjadi, ini diakibatkan karena mereka belum memberikan respon terhadap teguran-teguran temannya. Kemudian detemukan ketika bercakap-cakap dengan bahasa campuran.

Situasi 1. “Kutipan Percakapan Mutia dengan Saudaranya setelah beberapa hari di rumah tempat ia tinggal di Denpasar:
Mutia : Dik, ube maem jaje tuni to (Adik, sudah dimakan jajannya yang tadi)?
Dea : beyum mok (belum kak), mok ube (kakak sudah) ?
Mutia : Konden masi (belum juga)
Dalam percakapan yang terjadi beberapa hari setelah tinggal di Denpasar itu dapat dilihat bahwa mereka sudah menyisipkan beberapa kata Bahasa Indonesia dalam kalimatnya. Hal itu terjadi karena meraka meniru teman-temannya dan karena sering menonton TV yang acaranya menggunakan Bahasa Indonesia. Kalimat pertama yang diucapkan oleh Mutia adalah merupakan Bahasa Bali penuh tapi kemudian dibalas (dijawab) oleh Dea dengan menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Bali (code mixing/campur kode). Hal itu dapat dilihat dari kata beyum (Bahasa Indonesia) dan kata mok (Bahasa Bali). Dilihat dari segi morphologinya menunjukkan bahwa Dea belum menguasai morphology bahasanya-nya dengan baik (beyum seharusnya belum), dan dari strukturnya menunjukkan bahwa aturan kalimatnya sudah terstruktur. Dua kalimat terakhir adalah Bahasa Bali. Dari hal percakapan tersebut diketahui bahwa pemakaian dan kemampuan Bahasa Indonesianya masih minim.
Pada bulan pertama, Mutia da Dea sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan bahasa barunya, ini terbukti dengan kemampuannya menggunakan beberapa kata yang dapat membedakan dengan bahasa pertamanya. Intensitas pemakaian Bahasa Indonesianya sudah menunjukkan peningkatan.
Sutuasi 2. “Kutipan Percakapan Mutia dan Dea dengan Teman-temannya”:
Mutia: Eh eh main kering-keringan yuk!
Dimas: Ayo.
Dea: Mok, adik bayeng nah
Mutia: Ya, syut dulu, yang kalah jaga
Mutia, Dimas, Dea: (aleaiumgambreng)
Mutia: aaaaaaaa adik jaga!
Dea: Nah, adik itung ampe sepuyuh nah
Mutia dan Dimas: (sembunyi)
Dari percakapan singkat di atas, dapat diketahui bahwa sebenarnya yang menjadi subtansi dari adaptasi bahasa ke dalam lingkungan bahasa baru bagi Mutia dan Dea, adalah dalam penggunaan dan proses penerimaan ujaran bahasa, anak lebih cepat memahami dan mengerti ujaran dari teman sebayanya daripada dengan orang yang lebih tua. Suatu hipotesis yang dapat mendukung ini adalah bahwa belajar kesejawatan (bottom up) jauh lebih praktis daripada belajar top down. Ini disebabkan karena anak bebas berbicara dengan teman sebayanya daripada dengan dengan orang yang lebih tua.
Dari percakapan diatas menunjukkan peningkatan pemakaian Bahasa Indonesia, terutama oleh Mutia. Hal ini desbabkan karena mutia lebih sering bergaul dengan teman-temannya di sekolah, sedangkan Dea hanya diam dirumah dengan Ibunya. Namun meskipun begitu yang susah dirubah oleh Mutia adalah dalam penggunaan dialek Bahasa Bali daerah Tabanannya. Bahasa Indonesia yang diucapkan seakan-akan menyerupai Bahasa Bali, namun tetap bisa dimengerti oleh teman-temannya. Pembelajaran bahasa kedua Mutia dan Dea menunjukkan perkembangan yang termasuk cepat. Hal ini mungkin juga disebabkan karena struktur Bahasa Bali tergolong sama dengan Bahasa Indonesia. Dari segi pembentukan katanya Dea masih kurang sempurna karena lidahnya belum terlatih betul.
Pada saat liburan sekolah Mutia dan Dea diajak kembali ke kampungnya di Perean selama beberapa hari. Dari segi sikap dan bahasa mereka menunjukkan perbedaan dari sebelumnya. Hal itu dapat dilihat dari percakapa berikut:
Situasi 3. “Kutipan Percakapan Ketika Berada di Kampung Ketika Mutia dan Dea Berlibur”:
Mutia: kak..........(kakek). (langsung mencium tangan kakeknya)
Kakek: kapan pulang
Mutia: baru aja
Kakek: mana oleh-olehnya
Mutia: dak ada, dah abis. Tadi tia beli eskrim aja
Kakek: adik dea dimana?
Mutia: disisi ajak bapak (diluar sama bapak)
Dea: kak.....adik punya es-kyim
Kakek: Minta ya
Dea: yeeee....... auk eh (ye...... ndak ah). Odah ija kak (nenek dimana kek)?
Kakek: nak meblanja.
Dari percakapan antara Mutia dan Dea dengan Kakeknya, dapat diketahui bahwa ungkapan-ungkapan dengan tata bahasa yang sederhana baik kalimat pernyataan maupun kalimat bertanya sudah berterima dengan baik, hal ini terbukti dari ungkapan jawaban yang diungkapkan oleh kakek sebagai lawan bicaranya.
Perubahan sikap yang dimaksud diatas adalah ketika Mutia mencium tangan kakeknya, sebagai tanda salam dan penghormatan terhadap orang tua. Sebelumnya dia tidak pernah melakukan hal itu, mungkin terjadi karena meniru ketika berada di sekolah atau mungkin karena diajarkan oleh gurunya. Bahasa yang digunakan lebih banyak Bahasa Indonesia, dimana sebelum pindah ke Denpasar bahasa yang digunakan adalah Bahasa Bali. Akan tetapi mereka tidak kehilangan Bahasa Balinya, dapat dilihat dari kalimat “disisi ajak bapak”, dan “Odah ija kak”.


Penutup
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa proses adaptasi bahasa pada anak usia balita pada lingkungan bahasa barunya berjalan dengan lancar dan cepat. Proses adaptasi ini dimulai sejak beberapa hari mereka tinggal di Denpasar. Proses adaptasi Mutia dan Dea dimulai dari teman sebayanya yang sesuai dengan perkembangan otak dan neurologinya. Kemampuan anak usia balita memelihara dua dialek tergantung dari keberadaan kedua orang tua mereka yang tetap menggunakan Bahasa Indonesia dialek Bali dalam komunikasi di rumah mereka tanpa memaksakan salah satu dialek. Kemampuan anak usia balita mampu membedakan dua dialek disebabkan oleh ujaran dan setting kepada siapa ia berbicara. Keabsahan pemahaman adaptasi bahasa anak usia balita dilihat dari dua aspek yakni, aspek tata bahasa dan aspek intonasi.
Saran
Dari temuan di atas disarankan agar dalam berkomunikasi dengan anak jangan diinterfensi oleh kedua orang tuanya, biarkan mereka berkomunikasi apa adanya tanpa memaksakan dialek atau bahasa tertentu. Anak memiliki kemampuan untuk menguasai bahasa dengan cepat dan bahkan dalam menguasai dua bahasa secara bersamaan.






















DAFTAR PUSTAKA

Conrad, Christina. 2003. Theories of Second Language Acquisition. www.google.com
Dardjowidjojo.S. 2000. ECHA Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. PT Gramedia Indonesia
Dulay, heide., Burt, Marina., Krashen, Stephen. 1982. Language Two. New York. Oxfor University Press.
Ellis, Rod. 1986. Second Language Acquisition. New York. Oxford University Press.
Gleason,J.B., & Ratner, N.B. 1993. Psycholinguistics. Fort Worth, TX: Harcourt Brace Javanovich.
Hana. Bahasa Anak Usia Balita. www.google.com
Hery, Cecep. Persoalan Kedwibahasaan Dalam Sastra Kita. www.google.com
Hyltenstam, Kenneth., & Obler, L.K. 1989. Bilingualism Across the Lifespan. New York: Cambridge University Press.
Ingram, D. 1989. First Language Acquisition: Method, Description and Explanation. Cambridge University Press.
Tarigan, Guntur. 1988. Pengajaran Kedwibahasaan. Bandung. Angkasa Bandung.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar