Rabu, 03 Agustus 2011

Perbedaan Dampak Peneerapan Teknik Reformulasi dan Prompt Terhadap Penguasaan Present Continuous Tense Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Baturiti


PERBEDAAN DAMPAK PENERAPAN TEKNIK
REFORMULASI DAN PROMPT TERHADAP PENGUASAAN PRESENT CONTINUOUS TENSE SISWA KELAS X
SMA NEGERI 1 BATURITI
(Terbit di Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran UNDIKSHA)






Oleh:
I Wayan Dana Ardika,S.S.,M.Pd.












JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIKNEGERI BALI


PERBEDAAN DAMPAK PENERAPAN TEKNIK
REFORMULASI DAN PROMPT TERHADAP PENGUASAAN PRESENT CONTINUOUS TENSE SISWA KELAS X
SMA NEGERI 1 BATURITI

Oleh:
I Wayan Dana Ardika



ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak penerapan teknik reformulasi dan prompt terhadap penguasaan present continuous tense siswa. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Baturiti dengan menggunakan metode eksperimen dengan disain eksperimen semu. Instrumen dalam penelitian ini berupa tes-tes untuk mencari data penguasaan present continuous tense siswa (data utama). Selain instrumen tersebut, juga digunakan metode wawancara tak terstruktur untuk mendapatkan penjelasan yang lebih mendalam terhadap fenomena-fenomena yang terjadi dengan penerapan teknik reformulasi dan prompt (data pendukung). Sampel penelitian berjumlah 76 siswa, yang berasal dari kelas X. A dan kelas X. B. Analisis data menggunakan analisis t-test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Penguasaan present continuous tense siswa yang diajar dengan teknik reformulasi membawa hasil yang cukup baik, (2) Penguasaan present continuous tense siswa yang diajar dengan teknik prompt membawa hasil yang cukup baik, dan (3) ada perbedaan penguasaan present continuous tense siswa yang diajar dengan teknik reformulasi dengan siswa yang diajar dengan teknik prompt. Lebih jauh lagi diketahui bahwa tingkat penguasaan present continuous tense siswa yang diajar dengan menggunakan teknik reformulasi lebih baik daripada siswa yang diajar dengan menggunakan teknik prompt. Berdasarkan kenyataan tersebut, hendaknya para guru dapat menerapkan teknik reformulasi sebagai salah satu alternatif dalam pembelajaran bahasa.

Kata Kunci: teknik pembelajaran, reformulasi, prompt prestasi belajar





ABSTRACT

The research aimed at knowing the different effects on application of reformulation and prompt techniques to the students’ ability in using present continuous tense. The research is an experiment in SMA Negeri 1 Baturiti by using quasi experiment study. The instruments in this research are using tests which are compiled to search their ability of using present continuous tense (main data).  Beside, the writer also use unstructured interview method. The method is used to get the deeper explanation about the phenomenon appeared by the application of reformulation and prompt techniques (supporting data). There are 76 samples in this research; they are the students in X. A class and X. B class.T-test is used to analyze the data in this research. The result shows that: (1) the students’ ability in using present continuous tense taught by reformulation technique is good enough, (2) the students’ ability in using present continuous tense taught by prompt technique is good enough, and (3) the students’ achievement of present continuous tense taught by reformulation and prompt techniques are different. Moreover, it is known that students’ achievement of using present continuous tense taught by reformulation technique is better than students’s achievement of using present continuous tense taught by prompt technique. From the evidence, it is suggested that teacher should apply reformulation technique as an alternative in language learning.

Key Words: learning technique, reformulation, prompt, and learning achievement


1 PENDAHULUAN
Dalam beberapa dekade ini, para peneliti kebahasaan telah membuat berbagai  resep dalam pembelajaran bahasa. Resep-resep tersebut diberikan untuk membuat pembelajaran bahasa menjadi lebih efektif sehingga para siswa dapat menguasai bahasa yang dipelajarinya. Saat ini isu yang paling gencar didengungkan adalah bahwa pembelajaran bahasa akan lebih bermanfaat jika bahasa digunakan untuk komunikasi (Dulai, Burt, dan Krashen, 1982) dan dalam mempelajari bahasa (bahasa Inggris) diusahakan agar sesuai dengan lingkungan bahasa asli di mana bahasa tersebut digunakan. Akan tetapi, meskipun guru telah memberikan lingkungan bahasa agar sesuai dengan konteksnya, beberapa siswa masih tidak mampu menguasai apa yang telah diajarkan. Sebaliknya, terkadang juga terdapat siswa yang mampu menggunakan secara tepat struktur-struktur bahasa yang belum pernah diajarkan sebelumnya. Oleh karena itu, para ahli bahasa kemudian memberikan hipotesis bahwa di dalam pembelajaran bahasa terdapat faktor-faktor internal yang bertanggung jawab terhadap kejadian-kejadian yang tak terpikirkan seperti itu.
Tujuan akhir pengajaran bahasa adalah siswa mampu berkomunikasi dengan bahasa yang dipelajari secara benar, fasih, dan akurat, baik tertulis maupun lisan. Ada banyak permasalahan yang dihadapi siswa untuk mencapai tujuan tersebut, khususnya dalam hal ini adalah dalam mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa asing (EFL) dan bahasa kedua (L2). Sebagai contohnya dalam mempelajari tata bahasa dalam bahasa Inggris. Seringkali ditemukan siswa yang tidak berani berbicara di dalam kelas karena takut tata bahasanya salah. Whitley (dalam Leeman, Arteagoita, Fridman, dan Doughty, 1995), menyatakan bahwa akurasi penggunaan bahasa target sangat penting dalam peristiwa komunikasi di dalam kelas. 
Ada berbagai strategi yang digunakan oleh para guru untuk mencapai tujuan pembelajaran bahasa Inggris yang telah ditetapkan. Salah satunya adalah dengan memberikan umpan balik dalam pembelajaran yang sedang berlangsung. Memberikan kesempatan-kesempatan untuk berlatih dan menerima umpan balik korektif merupakan suatu langkah yang amat penting untuk membantu para siswa mengembangkan dirinya berdasarkan pada pengetahuannya sebelumnya. Dengan memberikan umpan balik terhadap capaian siswa saat ini, dapat memberikan keuntungan tambahan untuk membantu siswa dalam mengembangkan teknik-teknik belajar yang baik dan efektif.
Dengan memberikan kesempatan-kesempatan untuk berlatih dan menerima umpan balik korektif, akan membantu siswa untuk menyimpan dan menghubungkan informasi-informasi yang ada (Ertmer dan Newby, 1993). Istilah umpan balik itu sendiri pun telah dikenal sangat lama, tetapi baru-baru ini para ahli bahasa di dunia mencoba meneliti secara maksimal dampak umpan balik tersebut dalam pembelajaran. Dalam hal ini, Lyster dan Ranta (1997) dan Lyster (2004) menggolongkan umpan balik menjadi tujuh jenis, yaitu (1) explicit correction, (2) recast, (3) clarification request, (4) metalinguistic clues, (5) elicitation, (6) repetition, dan (7) prompt.
Dalam beberapa dekade terakhir ini, fokus penelitian yang dilakukan oleh para ahli metodologi bahasa ada pada recast. Recast adalah parafrase ungkapan sebelumnya dengan mengubah satu atau lebih komponen kalimat tanpa mengubah makna yang ingin diugkapkan (Long, 1996: 436). Nicholas, Lighbown, dan Spada (2001) telah melakukan review terhadap penelitian-penelitian yang berkaitan dengan recast. Dari review tersebut disimpulkan bahwa recast terbukti efektif diterapkan pada pembelajaran bahasa (baik bahasa pertama maupun bahasa kedua). Teknik ini dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yang pertama disebut dengan spoken recast, yaitu penerapan recast dalam pembelajaran yang dilakukan secara lisan, sedangkan yang kedua disebut dengan written recast atau reformulation (reformulasi), yaitu penerapan yang dilaksanakan melalui tulisan atau komposisi yang dibuat oleh siswa.
Angelo dan Cross (1993), menyatakan bahwa guru menggunakan umpan balik agar dapat meningkatkan kemampuan siswa dan umpan balik tulis (written feedback) kemungkinan akan lebih berguna daripada umpan balik secara lisan. Penerapan umpan balik lisan dapat memberikan kesempatan bagi para siswa untuk mengkonsultasikannya kembali kepada gurunya sehingga akan mendapatkan kejelasan yang lebih terhadap topik yang dipelajari. Penulis dapat mencuri informasi dari komentar yang diberikan oleh guru, dengan mengikuti arahan dari umpan balik tersebut (Knoblauch dan Brannon, 1984).
Penelitian mengenai reformulasi juga telah banyak dilakukan oleh para ahli metodologi pembelajaran bahasa di dunia, seperti yang dilakukan oleh Hsu dan Knoblock (1993), Thornbury (1997), dan Tocally-Beler dan Swain (2005), Lyster (2004), dan lain-lain. Dari hasil penelitian-penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa belum ada satu pun ahli bahasa yang melakukan penelitian dan mencoba untuk menerapkan teknik reformulasi ini di Indonesia, padahal di negara-negara lain telah banyak ahli bahasa yang menyatakan bahwa reformulasi itu efektif diterapkan kepada para siswa (Hsu dan Knoblock, 1993; Tocalli-Beller dan Swain, 2005). Berdasarkan atas alasan-alasan di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian terhadap penerapan teknik reformulasi, khususnya yang   penulis lakukan pada siswa kelas X di SMA Negeri 1 Baturiti, yang hasilnya juga diperbandingkan dengan penerapan teknik prompt. Hal ini sangat diperlukan untuk mengetahui apakah reformulasi ini efektif atau tidak jika diterapkan bagi para siswa di Indonesia, atau mungkin saja teknik prompt yang telah biasa diterapkan ternyata lebih efektif dari penerapan teknik reformulasi. Dalam penelitian ini penulis lebih mengkhususkan lagi penelitian terhadap penguasaan present continuous tense siswa. Present continuous tense adalah salah satu tenses yang masuk dalam kurikulum bahasa Inggris SMA (GBPP) tahun ajaran 2007/2008 pada kelas X.
Tujuan penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua macam, antara lain tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi secara mendalam mengenai dampak penerapan reformulasi dan prompt dalam pembelajaran present continuous tense oleh para siswa kelas X di SMA Negeri 1 Baturiti, sedangkan tujuan khusus dalam penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan tingkat penguasaan present continuous tense siswa yang diajar dengan teknik reformulasi; (2) mendeskripsikan tingkat penguasaan present continuous tense siswa yang diajar dengan teknik prompt; dan (3) mendeskripsikan tingkat perbedaan penguasaan present continuous tense antara siswa yang diajar dengan teknik reformulasi dengan siswa yang diajar dengan teknik prompt.
Penelitian ini dapat memberikan manfaat teoretis dan manfaat praktis. Dari aspek teoretis, penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan memperkaya khazanah keilmuan dalam bidang pendidikan dan pembelajaran bahasa, khususnya dalam hal ini mengenai penggunaan teknik pembelajaran menuju pada inovasi pembelajaran. Ditinjau dari aspek praktis, penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi (1) untuk guru mata pelajaran bahasa Inggris, dapat mengembangkan teknik pembelajaran sehingga tujuan  pembelajaran bahasa Inggris dapat tercapai dengan baik; (2) untuk siswa, dapat meningkatkan hasil belajar mereka dengan cara melatih diri dengan bimbingan gurunya; (3) untuk sekolah, dapat menghasilkan peserta didik (output) yang  bermutu dan berkualitas; dan (4) untuk peneliti, dapat menjadi dasar dalam melakukan penelitian-penelitian lebih jauh lagi terhadap teknik pembelajaran, khususnya mengenai reformulasi.
Adapun teori-teori yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah teori-teori pembelajaran yang diungkapkan oleh Utomo dan Ruijter (1994); Dick dan Carey (1985); Gagne, Briggs, dan Wager (1992); dan Dickson (2008); teori-teori mengenai reformulasi yang diungkapkan oleh Lyster dan Ranta (1997); Lyster (1998a, 1998b, 2004); Nicholas, dan Lightbown, dan Spada (2001); teori-teori mengenai prompt yang diungkapkan oleh Swain (1985); Dickson (2008); dan Ellis (1997); dan teori mengenai present continuous tense yang diungkapkan oleh Halim (tanpa tahun).

2 METODE PENELITIAN
            Penelitian yang dilakukan menggunakan metode kuantitatif dan termasuk ke dalam penelitian eksperimen semu (Quasy-Experiment Design). Disain eksperimen semu dipakai karena hal-hal lain yang berinteraksi dan mempengaruhi hasil penelitian ini tidak dapat dikendalikan sepenuhnya (Gall & Borg, 2003). Dalam situasi sekolah, jadwal pelajaran tidak dapat diganggu gugat, atau kelas diorganisasi, demi kepentingan peneliti. Dalam hal ini, peneliti perlu menggunakan kelompok-kelompok itu seperti apa adanya. Penelitian ini melibatkan dua kelompok sampel yang masing-masing berjumlah 38 siswa dari empat kelompok (kelas) siswa kelas X di SMA Negeri 1 Baturiti dan dipilih secara acak. Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan instrumen tes untuk mendapatkan data penguasaan present continuous tense siswa. Penulis juga menggunakan teknik wawancara tak terstruktur (unstructured interview) kepada beberapa sampel siswa pada masing-masing kelompok sebagai data pendukung untuk mendapatkan atau menggali informasi secara mendalam terhadap hal-hal yang berkaitan dengan penelitian. Guna mendapatkan informasi sesuai dengan tujuan penelitian, data dianalisis dengan menggunakan t-test yang menggunakan pretest-postest control group design, untuk selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis dengan taraf signifikansi 5%.



3 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
            Dari hasil perhitungan diperoleh t sebesar 2,035 dan t sebesar 1,995. hal ini berarti bahwa t> t, dengan begitu t-test menolak H dan menerima H, yaitu ada perbedaan prestasi belajar siswa secara signifikan antara kelompok siswa yang menerima penerapan teknik reformulasi dan kelompok siswa yang menerima penerapan teknik prompt dalam pembelajaran present continuous tense. Kemudian, diketahui bahwa tingkat penguasaan present continuous tense siswa yang diajar dengan teknik reformulasi lebih baik daripada siswa yang diajar dengan teknik prompt.
Siswa yang menerima penerapan teknik reformulasi dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang penggunaan present continuous tense. Hal ini dibuktikan dengan konsistensi penggunaan present continous tense setelah penerepan teknik reformulasi. Jadi, siswa-siswa tersebut dapat mengambil keuntungan dari umpan balik yang diberikan. Siswa yang mendapatkan nilai perolehan baik mengatakan bahwa mereka menggunakan reformulasi yang diberikan sebagai dasar untuk memahami penggunaan present continuous tense. Namun, terdapat pula siswa-siswa yang menerima penerapan teknik reformulasi, tetapi tidak mengambil keuntungan dari reformulasi tersebut. Hal ini dibuktikan dengan adanya dua orang siswa yang mendapatkan nilai perolehan (gain) 0. Berdasarkan wawancara yang dilakukan diketahui bahwa siswa-siswa tersebut tidak melanjutkan umpan balik yang diberikan. Tulisan mereka yang telah diterapkan teknik reformulasi hanya ditaruh saja tanpa dipelajari. Hal tersebut terjadi karena siswa tersebut harus bekerja untuk mencari nafkah setelah jam sekolah selesai, sehingga waktu untuk belajar sangat terbatas. Oleh karena itu, terdapat penyimpangan dalam kalimat yang dibuat yang menandakan mereka belum paham betul tentang penggunaan present continuous tense. Sebagai contohnya, seorang siswa membuat kalimat “a man swimming in the beach” pada pretest dan pada postest kembali melakukan kesalahan dengan membuat kalimat “they is laugh see of humour”. Hal ini membuktikan bahwa siswa tersebut belum paham betul tentang penggunaan present continuous tense.
Hal yang sama juga terjadi pada kelompok dengan penerapan teknik prompt. Siswa yang menerima penerapan teknik prompt dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang penggunaan present continuous tense. Hal ini dibuktikan dengan konsistensi penggunaan present continous tense setelah penerepan teknik prompt. Jadi, siswa-siswa tersebut dapat mengambil keuntungan dari umpan balik yang diberikan. Siswa yang mendapatkan nilai perolehan baik mengatakan bahwa mereka menggunakan prompt yang diberikan sebagai dasar untuk mencari informasi-informasi mengenai penggunaan present continuous tense. Namun, terdapat pula siswa-siswa yang menerima penerapan teknik prompt, tetapi tidak mengambil keuntungan dari prompt tersebut. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya siswa yang mendapatkan nilai perolehan (gain) -1 dan 0. Berdasarkan wawancara yang dilakukan diketahui bahwa siswa-siswa tersebut tidak melanjutkan umpan balik yang diberikan. Tulisan mereka yang telah diterapkan teknik prompt hanya ditaruh saja tanpa dipelajari, sehingga mereka tidak menerima keuntungan dari penerapan teknik prompt tersebut. Oleh karena itu, terdapat kesalahan struktur dalam kalimat yang dibuat yang menandakan mereka belum paham betul tentang penggunaan present continuous tense. Sebagai contohnya, seorang siswa membuat kalimat “he write a letter everyday” pada pretest dan pada postest kembali melakukan kesalahan dengan membuat kalimat “the letter is given to friend to me”. Hal ini membuktikan bahwa siswa tersebut belum paham betul tentang penggunaan present continuous tense.
            Penerapan teknik reformulasi dapat menyebabkan terjadinya konflik intelektual yang mendukung pembelajaran. Konflik yang terjadi tersebut disebut dengan konflik kognitif (cognitive conflict). Penerapan teknik prompt juga dapat menyebabkan terjadinya konflik kognitif. Bedanya, konflik intelektual yang terjadi dengan penerapan teknik reformulasi disebabkan oleh adanya input yang diberikan pada tulisan yang dibuat oleh para siswa. Input tersebut dapat berperan sebagai bukti negatif (negative evidence) karena memberikan bentuk yang benar berdasarkan kesalahan-kesalahan yang dibuat siswa. Bukti negatif tersebut juga menimbulkan diskusi antarsiswa dan usaha untuk mencari informasi yang lebih jelas tentang penggunaan present continuous tense, sedangkan konflik intelektual yang terjadi dengan penerapan teknik prompt terjadi karena siswa sadar bahwa kalimat-kalimat yang dibuat menyimpang dari yang seharusnya berdasarkan prompt yang diberikan. Berdasarkan kesadaran tersebut, siswa kemudian melanjutkannya dengan melakukan diskusi dengan teman sekelasnya dan mencari informasi yang lebih jelas pada buku-buku pelajaran yang mereka miliki. Hal ini dilakukan karena tidak diberikan bentuk yang benar (input) berdasarkan kesalahan-kesalahan yang dibuat siswa. Ini berarti bahwa konflik intelektual siswa (konflik kognitif) dapat terjadi dengan penerapan teknik reformulasi (dengan input) dan penerapan teknik prompt (tanpa input). Setelah konflik kognitif tersebut, dalam pencapaian penguasaan present continuous tense juga mengalami tahap-tahap noticing dan uptake, seperti yang ditunjukkan pada gambar-gambar berikut ini.







 
















Gambar 2.1 Proses Penguasaan Present Continuous Tense Siswa dengan Penerapan Teknik Reformulasi dan Prompt

Meskipun uptake dapat muncul dengan penerapan teknik reformulasi dan prompt, berdasarkan hasil analisis terbukti bahwa dengan adanya input akan dapat memberikan pengaruh yang lebih baik bagi perkembangan penguasaan present continuous tense siswa. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada beberapa sampel dari kelompok kontrol (dengan penerapan teknik prompt) juga diketahui bahwa secara umum mereka menganggap teknik prompt itu baik, tetapi mereka menyarankan agar komposisi yang mereka buat diberikan pembenarannya secara langsung. Jadi, dengan demikian para siswa dari kelompok kontrol secara tidak langsung menyatakan bahwa komposisi yang mereka buat hendaknya direformulasi (diberikan input) sehingga mereka dapat mengetahui bentuk yang benar untuk dipelajari. Berdasarkan wawancara juga diketahui bahwa sebagian besar siswa pada kelompok kontrol belajar atau berdiskusi dengan salah satu siswa yang mendapatkan nilai sangat tinggi (siswa yang dikeluarkan dari kelompok sampel karena dianggap telah menguasai present continuous tense dengan baik/outlayer) pada tahap pemberian pretest. Jadi, seandainya dalam kelas tersebut tidak ada siswa yang sudah menguasai present continuous tense dengan baik, kemungkinan besar penerapan teknik reformulasi akan berdampak jauh lebih tinggi atau lebih baik lagi daripada penerapan teknik prompt.
Penerapan teknik reformulasi dan prompt terbukti dapat meningkatkan tingkat perkembangan bahasa dan akurasi penggunaan present continuous tense siswa. Hal ini dibuktikan dengan adanya nilai perolehan sebesar 185 atau peningkatan nilai rata-rata dari 0,45 menjadi 5,32 dengan penerapan teknik reformulasi dan nilai perolehan sebesar 134 atau peningkatan nilai rata-rata dari 0,45 menjadi 3,97 dengan penerapan teknik prompt. Penelitian Daughty dan Varela (yang disebutkan oleh Nicholas, Lighbown, dan Spada, 2001) pada penguasaan past tense anak-anak yang berumur antara 11-14 tahun juga menunjukkan bahwa dengan penerapan teknik reformulasi akan dapat ditingkatkan akurasi dan tingkat penggunaan past tense. Dari data yang ada dapat kita ketahui bahwa penerapan teknik reformulasi dan prompt sama-sama dapat meningkatkan penguasaan dan akurasi penggunaan present continuous tense, tetapi tingkat keefektifannya berbeda-beda. Adanya input kepada para siswa dengan penerapan teknik reformulasi diyakini menjadi penyebab terjadinya hal tersebut.

4 PENUTUP
            Berdasarkan atas temuan dalam penelitian ini dapat disumpulakan beberapa hal, antara lain (1) penguasaan present continuous tense siswa yang diajar dengan teknik reformulasi membawa hasil yang cukup baik; (2) penguasaan present continuous tense siswa yang diajar dengan teknik prompt membawa hasil yang cukup baik; dan (3) ada perbedaan secara signifikan prestasi belajar siswa yang diajar dengan teknik reformulasi dan teknik prompt dalam pembelajaran present continuous tense. Lebih jauh lagi diketahui bahwa tingkat penguasaan present continuous tense siswa yang diajar dengan menggunakan teknik reformulasi lebih baik daripada siswa yang diajar dengan menggunakan teknik prompt.
            Temuan penelitian ini memberikan beberapa implikasi antara lain (1) temuan tentang penerapan teknik reformulasi dan prompt terbukti sama-sama dapat meningkatkan kemampuan penggunaan present continuous tense siswa. Temuan ini memberikan implikasi bahwa perlunya pemberian umpan balik (penerapan suatu teknik) pada tulisan-tulisan atau kalimat-kalimat yang dibuat oleh siswa agar dapat meningkatkan akurasi bahasa mereka; (2) temuan tentang penerapan teknik reformulasi terbukti dapat memberikan dampak yang lebih signifikan dibandingkan dengan penerapan teknik prompt dalam meningkatkan kemampuan penggunaan present continuous tense siswa. Temuan ini memberikan implikasi bahwa perlunya penerapan teknik reformulasi secara terprogram pada tulisan-tulisan atau kalimat-kalimat yang dibuat oleh para siswa; (3) Berkaitan dengan temuan-temuan tersebut, seorang guru harus cermat dalam memilih salah satu teknik pembelajaran yang akan diaplikasikan dalam pembelajaran bahasa (khususnya dalam pembelajaran present continuous tense). Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa Inggris, yang mana mengharapkan dapat menghasilkan siswa-siswa yang mampu berkomunikasi secara lisan maupun tulis dengan baik. Penerapan teknik reformulasi yang berfokuskan pada bentuk (form focused instruction) akan memacu para siswa agar dapat meningkatkan akurasi bahasa mereka sehingga diharapkan nantinya mereka dapat menggunakan bahasa yang dipelajarinya dengan baik dan benar; dan (4) tujuan utama dalam pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia adalah agar siswa dapat menggunakan bahasa tersebut atau dapat menguasainya sesuai dengan penutur aslinya. Oleh karena itu, seorang peneliti kebahasaan atau ahli metodologi bahasa harus selalu berusaha untuk menemukan dan mengembangkan teknik-teknik belajar bahasa Inggris yang efektif sehingga tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya dapat tercapai.
            Berdasarkan temuan tersebut dan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran dalam bidang studi bahasa Inggris, yang pada dasarnya bermuara pada peningkatan prestasi belajar bahasa Inggris siswa, dalam penelitian ini dikemukakan saran-saran antara lain (1) mengingat diperlukan sekali adanya perlakuan umpan balik pada komposisi yang dibuat oleh para siswa, sebaiknya guru di SMA Negeri 1 Baturiti dapat memberikan umpan balik pada komposisi yang dibuat oleh para siswa dalam belajar bahasa Inggris; (2) mengingat penerapan teknik reformulasi lebih efektif daripada penerapan teknik prompt dalam meningkatkan prestasi belajar (akurasi) present continuous tense siswa, hendaknya para guru dapat menerapkan teknik reformulasi sebagai salah satu alternatif dalam pembelajaran bahasa bagi siswa di Indonesia; (3) mengingat proses umpan balik merupakan aktivitas dua komunikator yang saling memberi informasi dan saling mempengaruhi, hendaknya umpan balik dapat dipakai sebagai ajang kontrol dan penilaian. Dengan pemberian umpan balik tersebut, para siswa dapat mengontrol kemampuan belajarnya dan pihak guru memantau dan menilai kemampuan mengajarnya; (4) mengingat umpan balik sangat penting dan berpengaruh pada peningkatan prestasi belajar, hendaknya para siswa dapat memanfaatkan umpan balik tersebut untuk memotivasi diri dalam meningkatkan gairah belajarnya. Umpan balik tidak selamanya datang dari para guru, tetapi bisa datang dari teman sekelasnya dan ini hendaknya dapat memacu peningkatan aktivitas belajar siswa sehingga prestasi belajar menjadi lebih baik; dan (5) mengingat ada beberapa keterbatasan dalam variabel penelitian ini dan agar lebih akurasinya hasil penelitian ini, disarankan pada penelitian lebih lanjut (untuk memverifikasi penelitian ini) agar menggunakan beberapa variabel sertaan yang ikut memberikan kontribusi terhadap peningkatan prestasi belajar siswa. Juga sebaiknya digunakan sampel yang lebih banyak, waktu yang lebih lama, dan materi yang lebih menyeluruh, sehingga generalisasi hasil penelitian lebih luas dan akurat.

DAFTAR PUSTAKA
Angelo dan Cross. 1993. Teaching Without Learning is Just Talking. www.yahoo.com.

Dick, Walter & Carey, Lou. 1985. The systematic Design of Instruction. USA: Scott, Foresman and Company.

Dickson, K.J. 2008. Freewriting, Prompts and Feedback. http/www.yahoo.com.
Dulay, H., Burt M., Krashen, S. 1982. Language Two. New York: Oxford University Press.

Ellis, Rod. 1997. SLA Research and Language Teaching. Oxford: Oxford University Press.

Ertmer, P.A., & Newby, T. J. 1993. Behaviorm, Cognitivism, Constructivism. Performance Improvement Quarterly, 6, 50-72.

Gagne, Robert M., Briggs, Leslie J., dan Wager, Walter W. 1992. Principles of Instructional Design. USA: Harcourt Brace Jovanovich.

Gall, D., Gall, P., & Borg, R. 2003. Educational Research an Introduction. USA: Pearson Education,Inc.

Halim, Andreas. (Tanpa Tahun). Kamus Lengkap 5 Milyar Inggris-Indonesia, Indonesia Inggris. Surabaya: Sulita Jaya.

Hsu, Chun-Nan & Knoblock, Craig A. 1993. Learning Database Abstractions for Query Reformulation. USA: AAAI Workshop on Knowledge Discovery in Database.
Knoblauch, C.H., dan Brannon, L. 1984. Rhetorical Traditions and the Teaching of Writing. Upper Monclair, NJ: Boynton/Cook.

Leeman, J., Arteagoita, I., Fridman, B., dan Doughty, G. 1995. Integrating Attention to Form With Meaning: Focus on Form in Content-Based Spanish Instrucrion. Second Language Teaching & Curriculum Center (hal. 217-258).

Long, M.H. 1996. The Role of the Linguistic Environment in Second Language Acquisition. Dalam W. Ritchie dan T. Bhatia (Eds.) Handbook of Second Language Acquisition (hal. 413-468).
Lyster, Roy., dan Ranta, L. 1997. Corective Feedback and Learner Uptake: Negotiation of Form in Communicative Classromms. Language Learning Journal, 48, 183-218.

Lyster, Roy. 2004. Differential Effects of Prompts and Recasts in Form-Focused Indtruction. SSLA journal, hal: 399-432.

Lyster, Roy. 1998a. Recast, Repetition and Ambiguity in L2 Classroom Discourse. Studies in Second Language Acquisition, 20, 51-80.

Lyster, Roy. 1998b. Negotiation of Form, Recasts and Explicite Correction in Relation to Error Types and Learner Repair in Immertion Classrooms. Language Learning Journal, 48, 183-218.
Nicholas, H., Lighbown, P., & Spada, Nina. 2001. Recast as Feedback to Language Learners. Language Learning Journal, hal: 714-758.

Swain, M+ & Lapkin. 1985. Problems in Output and the Cognitive Processes They Generate: A Step Towards Second Language Learning. Applied Linguistics, 16, 370–391.

Thornbury, Scott. 1997. Reformulation and Reconstruction: Task that Promoting “Noticing”. English Language Teaching Journal, 51,: 326-335.

Tocally-Beller, A., Swain, M. 2005. Reformulation: The Cognitive Conflict and L2 Learning it Generates. International Journal of Applied Linguistics, 15, 5-26.

Utomo, Tjipto & Ruijter, Kees. 1994. Peningkatan dan Pengembangan Pendidikan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Pembelajaran Bahasa Kedua Bagi Anak di Lingkungan Baru


PEMBELAJARAN BAHASA KEDUA BAGI ANAK
DI LINGKUNGAN BARU

I Wayan Dana Ardika,S.S.,M.Pd.
Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali
Bukit Jimbaran
 (Terbit di Jurnal Humaniora PNB)
Abstrak
Proses adaptasi bahasa dan dialek pada lingkungan bahasa baru selalu terjadi secara alami bersamaan dengan proses pertumbuhan anak, dan hal itu merupakan isu sentral bagi setiap pembelajar bahasa. Tujuan pelaksanaan penelitian adalah untuk memperoleh informasi tentang proses adaptasi dalam pemerolehan bahasa kedua yang difokuskan pada anak usia balita pada lingkungan bahasa baru dilihat dari aspek neurologi dan perkembangan psikologi. Yang menjadi subjek dalam penelitian ialah dua anak balita dengan usia 4 dan 6 tahun. Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa proses adaptasi bahasa pada anak usia balita pada lingkungan bahasa barunya berjalan dengan lancar dan cepat. Kemampuan anak usia balita memelihara dua dialek tergantung dari keberadaan kedua orang tua mereka yang tetap menggunakan Bahasa Indonesia dialek Bali dalam komunikasi di rumah mereka tanpa memaksakan salah satu dialek. Dari temuan di atas disarankan agar dalam berkomunikasi dengan anak jangan diinterfensi oleh kedua orang tuanya, biarkan mereka berkomunikasi apa adanya tanpa memaksakan dialek atau bahasa tertentu
Kata kunci: pembelajaran, adaptasi, dan komunikasi.


Abstract

Language and dialect adaptation in new language environment usually happen naturally together with the growth of children, and this come as a central issue for language learners. The purpose of this research is to get information about the adaptation process in language acquisition process focused on children who stay in a new language environment, based on neurology and psychology development. The subjects of this research are two children 4 and 6 years old. The research was done by observation. Based on the analysis it is known that the adaptation process of the children in their new language environment happens fluently and fast. The children’s ability to maintain two dialects depend on their parents who still use the dialect during speaking in Indonesian. From the result above, it is suggested that in doing the communication with the children the parents don’t need to push them. Let them doing the communication naturally without the intervention of certain language or dialect.
Key words: learning, adaptation, and communication.
PEMBELAJARAN BAHASA KEDUA ANAK
DI LINGKUNGAN BARU



Latar Belakang
Proses adaptasi bahasa dan dialek pada lingkungan bahasa baru selalu terjadi secara alami bersamaan dengan proses pertumbuhan anak, dan hal itu merupakan isu sentral bagi setiap pembelajar bahasa. Sejalan dengan proses pemerolehan bahasa dan dialek, adaptasi bahasa juga terjadi secara alamiah sampai batas usia tertentu. Dalam batas usia itu, secara luar biasa anak balita menguasai sistem yang begitu rumit.
Adaptasi bahasa yang dimaksudkan oleh penulis adalah penyesuaian terhadap lingkungan berbahasa; sedangkan, lingkungan bahasa baru adalah suatu lingkungan bahasa yang berbeda dengan lingkungan bahasa sebelumnya yang digunakan oleh anak balita dalam berkomunikasi.
Seiring dengan proses pemerolehan bahasa pertama, proses adaptasi bahasa juga dapat berjalan dengan lancar dan cepat karena didorong oleh faktor kebutuhan anak. Dalam adaptasi bahasa ada beberapa cara yang digunakan dalam studi pengembangannya, seperti (a) buku catatan harian merupakan suatu cara untuk menelusuri perkembangan bahasa dalam diri seorang anak, (b) orang tua dapat berpartisipasi dengan mendaftarkan kata-kata yang diperoleh anaknya setahun pertama dengan maksud mengatur pengamatan dan mengingatkan tentang hal-hal yang bisa dikatakan oleh anak-anak, (c) observasi adalah cara yang intensif dan cermat bagi sejumlah kecil anak dalam pemerolehan bahasa terus berlanjut, (d) wawancara dilakukan dengan cara menggali sistem bahasa anak secara tidak langsung, paling tidak terpecah-pecah karena kapasitas metalinguistik mereka, (e) teknik eksperimen dilakukan dengan mengharuskan anak-anak menghasilkan kata-kata dengan gambar atau menunjuk gambar dengan rangsangan auditori, (f) longitudinal diperlukan untuk menjawab pertanyaan tertentu, (g) cros sectional yang mengemukakan pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana anak-anak usia 2,3,4 tahun menginterpretasikan kalimat-kalimat pasif. Perkembangan persepsi ucapan dilakukan dengan cara memperhatikan suara awal, dengan menggunakan teknik habitutation.
Pada proses pendengaran usia 18-20 bulan bayi memikirkan bunyi-bunyi baru untuk membedakan suara dengan menggunakan desain High Amplitude Sucking Pradigm (HASP). Pada usia 6-18 bulan dapat diuji dengan menggunakan procedure conditional headturn yaitu sebuah rangsangan bunyi yang diberikan berulang-ulang kepada anak. Pada saat diperkenalkan suatu bunyi yang kontras, bunyi tersebut diikuti dengan aktivitas distraktor visual animasi yang ditempatkan di sebelah garis penglihatan bayi. Pada ahirnya dengan cara ini, anak belajar mengantisipasi perubahan-perubahan suara yang memicu penglihatan visual dan menarik anak- anak untuk memalingkan kepala saat ia mendengar sebuah perubahan suara. Leksikon awal cenderung terlihat bersifat kata benda untuk anak yang belajar bahasa Inggris, kata benda awal ini cenderung menjadi contoh apa yang disebut basic level categories.
Dalam proses pembentukan kalimat, anak-anak mulai meletakkan kata-kata secara bersama ke dalam kalimat dengan dua – kata yang bersifat elementer. Kata-kata yang mereka letakkan dalam tahapan satu – kata digabung dalam ungkapan pendek yang bisanya tidak lengkap, dengan kata lain tidak memiliki artikel, preposisi atau beberapa tata bahasa lainnya. Dalam pengungkapan tata bahasa, sama sekali tanpa infleksi tata bahasa. Mereka beranekaragam dalam berbahasa. Keragaman dalam mengungkapkan kalimat dengan kata negatif, bertanya, disebabkan karena faktor kecepatan dan kemajuan anak serta kemampuan linguistik anak. Berdasarkan atas apa yang telah diuraikan di atas dan oleh karena begitu rumitnya proses penguasaan bahasa pada anak tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian ini.
            Adapun tujuan utama dalam penelitian adalah untuk memperoleh informasi tentang proses adaptasi dalam pemerolehan bahasa kedua yang difokuskan pada anak usia balita pada lingkungan bahasa baru dilihat dari aspek neurologi dan perkembangan psikologi yang dibutuhkan dan digunakan seperti, bagaimana seorang anak memperoleh dan memproduksi bahasa. Dengan tulisan singkat ini nantinya diharapakan dapat menjadi sumbangan yang berharga bagi perkembangan ilmu pendidikan, khususnya mengenai pembelajaran bahasa.

Metode Penelitian
Yang menjadi subjek dalam penelitian ialah dua anak balita dengan usia 4 dan 6 tahun yaitu Kadek Dea Ananda yang biasa dipanggil Dea dan Putu Mutia Amandari dengan nama panggilan Mutia (keponakan penulis sendiri). Dea lahir pada tanggal 2 Januari 2003 dan Mutia taggal 24 April 2001 di desa Perean, Baturiti, Tabanan dengan keadaan fisik dan mental yang normal. Dari kecil Dea dan Mutia tinggal di Perean dengan lingkungan pengguna Bahasa Bali. Namun ketika Mutia sudah cukup umur untuk bersekolah, mereka sekeluarga pidah ke Denpasar dengan maksud untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan dekat dengan tempat bapaknya bekerja. Sehari-harinya mereka berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Bali. Namun, sebagaiman diketahui bahwa dalam pergaulan di Denpasar lebih banyak pengguna Bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan karena makin sedikitnya orang tua yang mau memakai Bahasa Bali sebagai bahasa sehari-hari dalam keluarga. Oleh karena itulah kemudian ketika tinggal di Denpasar orang tua Mutia dan Dea juga menyelipkan Bahasa Indonesia dalam komunikasinya agar nantinya Mutia tidak mengalami kesulitan dalam pergaulan dengan teman-temannya di sekolah atau di rumahnya.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2006 sampai dengan Januari 2007. Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan dan observasi;  dan observasi dilakukan saat pemerolehan kata-kata baru. Observasi merupakan salah satu bentuk penelitian kualitatif yang mampu neggambarkan suatu fenomena secara lebih detail dan akurat (Bogdan dan Biklen, 1982: 74). Pengamatan dilakukan di tempat tinggalnya di Denpasar dan pada saat mereka liburan sekolah atau pada saat mereka berada di desa. Kegiatan pengamatan ini dilakukan ketika Mutia dan Dea melakukan komunikasi dengan semua keluarga yang ada di rumah dan ketika bermain dengan teman-teman sebayanya.
Data tersebut dideskripsikan dengan tulisan biasa. Transkrip secara fonetik tidak dilakukan karena data ini hanya sebagai bahan dalam menganalisis ujaran dan kata-kata atau kalimat dalam adaptasi bahasa. Data tersebut diklasifikasikan sesuai dengan jenis kata yang urutannya disesuaikan dengan waktu pengumpulan.
Dalam pengumpulan data, alat pengumpul data yang digunakan ialah peneliti adalah dengan remembering dan rewritting (baik dari penulis sendiri maupun dari orang tua objek penelitian), yaitu dengan mengingat semua yang diucapkan oleh mereka (yang ada hubungannya dengan PBK-nya) kemudian menulis kembali. Catatan harian peneliti dijadikan alat untuk menganalisis data yang diperlukan.
Dalam menganalisis data ini, peneliti melakukan tahapan- tahapan sebagai berikut: Pertama. Data yang sudah direkam dalam bentuk tulisan sesuai dengan ucapan dan makna yang ditangkap oleh peneliti dilihat dari berbagai aspek yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik yang muncul pada waktu-waktu tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan kecenderungan urutan pemunculan, produksi bahasanya, dan situasi pada saat dia mengungkapkan bahasa tersebut. Pemunculan bahasa tersebut merupakan cerminan dari kompetensi si anak sehingga dapat memberikan keyakinan peneliti bahwa anak ini memang telah memperoleh adaptasi bahasa dalam lingkungan bahasa baru seperti yang dia ucapkan.
Kedua. Setelah data dianalisis dan disajikan secara deskriptif, hasilnya ditinjau secara teoritis dari aspek psikolinguistik yaitu dari mentalistik pemerolehan bahasa. Unsur-unsur bahasa seperti fonem, morfem, morfologi, sintaksis dan lain-lainnya dikaji dengan melihat makna sesuai dengan konteks dan situasi di tempat dia mangucapkan bahasa tersebut.
Ketiga. Setelah data ditinjau dari aspek kebahasaan dan kejiwaan, maka data tersebut dibahas sesuai dengan komponen bahasa mulai dari fonem, morfem, sintaksis, semantik dan pragmatik serta sosio kultural. Kemudian simpulan analisis disajikan pula dengan membandingkan teori-teori linguistik khususnya yang berkaitan dengan pemerolehan bahasa.
Keempat. Setelah pembahasan data tentang pemorelehan dan produksi bahasa anak, maka ditarik simpulan hasil bahasan sebagai satu temuan penelitian.


Hasil Penemuan dan Pembahasan
Setelah Mutia dan Dea menetap di Denpasar, awalnya mereka belum bisa beradaptasi dengan baik. Ia hanya banyak mengamati perilaku kehidupan anak-anak tetangga yang sebaya dengannya, walaupun tegur sapa sudah mulai menunujukkan gejala akan adanya persahabatan di antara mereka. Adaptasi pemerolehan kata tampaknya belum terjadi, ini diakibatkan karena mereka belum memberikan respon terhadap teguran-teguran temannya. Kemudian detemukan ketika bercakap-cakap dengan bahasa campuran.

Situasi 1. “Kutipan Percakapan Mutia dengan Saudaranya setelah beberapa hari di rumah tempat ia tinggal di Denpasar:
Mutia : Dik, ube maem jaje tuni to (Adik, sudah dimakan jajannya yang tadi)?
Dea : beyum mok (belum kak), mok ube (kakak sudah) ?
Mutia : Konden masi (belum juga)
Dalam percakapan yang terjadi beberapa hari setelah tinggal di Denpasar itu dapat dilihat bahwa mereka sudah menyisipkan beberapa kata Bahasa Indonesia dalam kalimatnya. Hal itu terjadi karena meraka meniru teman-temannya dan karena sering menonton TV yang acaranya menggunakan Bahasa Indonesia. Kalimat pertama yang diucapkan oleh Mutia adalah merupakan Bahasa Bali penuh tapi kemudian dibalas (dijawab) oleh Dea dengan menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Bali (code mixing/campur kode). Hal itu dapat dilihat dari kata beyum (Bahasa Indonesia) dan kata mok (Bahasa Bali). Dilihat dari segi morphologinya menunjukkan bahwa Dea belum menguasai morphology bahasanya-nya dengan baik (beyum seharusnya belum), dan dari strukturnya menunjukkan bahwa aturan kalimatnya sudah terstruktur. Dua kalimat terakhir adalah Bahasa Bali. Dari hal percakapan tersebut diketahui bahwa pemakaian dan kemampuan Bahasa Indonesianya masih minim.
Pada bulan pertama, Mutia da Dea sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan bahasa barunya, ini terbukti dengan kemampuannya menggunakan beberapa kata yang dapat membedakan dengan bahasa pertamanya. Intensitas pemakaian Bahasa Indonesianya sudah menunjukkan peningkatan.
Sutuasi 2. “Kutipan Percakapan Mutia dan Dea dengan Teman-temannya”:
Mutia: Eh eh main kering-keringan yuk!
Dimas: Ayo.
Dea: Mok, adik bayeng nah
Mutia: Ya, syut dulu, yang kalah jaga
Mutia, Dimas, Dea: (aleaiumgambreng)
Mutia: aaaaaaaa adik jaga!
Dea: Nah, adik itung ampe sepuyuh nah
Mutia dan Dimas: (sembunyi)
Dari percakapan singkat di atas, dapat diketahui bahwa sebenarnya yang menjadi subtansi dari adaptasi bahasa ke dalam lingkungan bahasa baru bagi Mutia dan Dea, adalah dalam penggunaan dan proses penerimaan ujaran bahasa, anak lebih cepat memahami dan mengerti ujaran dari teman sebayanya daripada dengan orang yang lebih tua. Suatu hipotesis yang dapat mendukung ini adalah bahwa belajar kesejawatan (bottom up) jauh lebih praktis daripada belajar top down. Ini disebabkan karena anak bebas berbicara dengan teman sebayanya daripada dengan dengan orang yang lebih tua.
Dari percakapan diatas menunjukkan peningkatan pemakaian Bahasa Indonesia, terutama oleh Mutia. Hal ini desbabkan karena mutia lebih sering bergaul dengan teman-temannya di sekolah, sedangkan Dea hanya diam dirumah dengan Ibunya. Namun meskipun begitu yang susah dirubah oleh Mutia adalah dalam penggunaan dialek Bahasa Bali daerah Tabanannya. Bahasa Indonesia yang diucapkan seakan-akan menyerupai Bahasa Bali, namun tetap bisa dimengerti oleh teman-temannya. Pembelajaran bahasa kedua Mutia dan Dea menunjukkan perkembangan yang termasuk cepat. Hal ini mungkin juga disebabkan karena struktur Bahasa Bali tergolong sama dengan Bahasa Indonesia. Dari segi pembentukan katanya Dea masih kurang sempurna karena lidahnya belum terlatih betul.
Pada saat liburan sekolah Mutia dan Dea diajak kembali ke kampungnya di Perean selama beberapa hari. Dari segi sikap dan bahasa mereka menunjukkan perbedaan dari sebelumnya. Hal itu dapat dilihat dari percakapa berikut:
Situasi 3. “Kutipan Percakapan Ketika Berada di Kampung Ketika Mutia dan Dea Berlibur”:
Mutia: kak..........(kakek). (langsung mencium tangan kakeknya)
Kakek: kapan pulang
Mutia: baru aja
Kakek: mana oleh-olehnya
Mutia: dak ada, dah abis. Tadi tia beli eskrim aja
Kakek: adik dea dimana?
Mutia: disisi ajak bapak (diluar sama bapak)
Dea: kak.....adik punya es-kyim
Kakek: Minta ya
Dea: yeeee....... auk eh (ye...... ndak ah). Odah ija kak (nenek dimana kek)?
Kakek: nak meblanja.
Dari percakapan antara Mutia dan Dea dengan Kakeknya, dapat diketahui bahwa ungkapan-ungkapan dengan tata bahasa yang sederhana baik kalimat pernyataan maupun kalimat bertanya sudah berterima dengan baik, hal ini terbukti dari ungkapan jawaban yang diungkapkan oleh kakek sebagai lawan bicaranya.
Perubahan sikap yang dimaksud diatas adalah ketika Mutia mencium tangan kakeknya, sebagai tanda salam dan penghormatan terhadap orang tua. Sebelumnya dia tidak pernah melakukan hal itu, mungkin terjadi karena meniru ketika berada di sekolah atau mungkin karena diajarkan oleh gurunya. Bahasa yang digunakan lebih banyak Bahasa Indonesia, dimana sebelum pindah ke Denpasar bahasa yang digunakan adalah Bahasa Bali. Akan tetapi mereka tidak kehilangan Bahasa Balinya, dapat dilihat dari kalimat “disisi ajak bapak”, dan “Odah ija kak”.


Penutup
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa proses adaptasi bahasa pada anak usia balita pada lingkungan bahasa barunya berjalan dengan lancar dan cepat. Proses adaptasi ini dimulai sejak beberapa hari mereka tinggal di Denpasar. Proses adaptasi Mutia dan Dea dimulai dari teman sebayanya yang sesuai dengan perkembangan otak dan neurologinya. Kemampuan anak usia balita memelihara dua dialek tergantung dari keberadaan kedua orang tua mereka yang tetap menggunakan Bahasa Indonesia dialek Bali dalam komunikasi di rumah mereka tanpa memaksakan salah satu dialek. Kemampuan anak usia balita mampu membedakan dua dialek disebabkan oleh ujaran dan setting kepada siapa ia berbicara. Keabsahan pemahaman adaptasi bahasa anak usia balita dilihat dari dua aspek yakni, aspek tata bahasa dan aspek intonasi.
Saran
Dari temuan di atas disarankan agar dalam berkomunikasi dengan anak jangan diinterfensi oleh kedua orang tuanya, biarkan mereka berkomunikasi apa adanya tanpa memaksakan dialek atau bahasa tertentu. Anak memiliki kemampuan untuk menguasai bahasa dengan cepat dan bahkan dalam menguasai dua bahasa secara bersamaan.






















DAFTAR PUSTAKA

Conrad, Christina. 2003. Theories of Second Language Acquisition. www.google.com
Dardjowidjojo.S. 2000. ECHA Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. PT Gramedia Indonesia
Dulay, heide., Burt, Marina., Krashen, Stephen. 1982. Language Two. New York. Oxfor University Press.
Ellis, Rod. 1986. Second Language Acquisition. New York. Oxford University Press.
Gleason,J.B., & Ratner, N.B. 1993. Psycholinguistics. Fort Worth, TX: Harcourt Brace Javanovich.
Hana. Bahasa Anak Usia Balita. www.google.com
Hery, Cecep. Persoalan Kedwibahasaan Dalam Sastra Kita. www.google.com
Hyltenstam, Kenneth., & Obler, L.K. 1989. Bilingualism Across the Lifespan. New York: Cambridge University Press.
Ingram, D. 1989. First Language Acquisition: Method, Description and Explanation. Cambridge University Press.
Tarigan, Guntur. 1988. Pengajaran Kedwibahasaan. Bandung. Angkasa Bandung.